Dekorasi Natal Gereja

Dekorasi Natal Gereja

Ratusan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di California, Amerika Serikat merayakan Natal dengan cara unik. Sebab, mereka melantunkan lagu pujian dengan diiringi angklung, meski jemaat dari suku Batak.  Kaum nasrani dari jemaat HKBP di California saling berbagi kado natal dan tidak memandang usia. Mereka sengaja datang berkunjung ke rumah kerabatnya untuk membagikan hadiah natal.

Kapolresta Solo Kombes Iwan Saktiadi. Metrotvnews.com/ Triawati

Solo: Polresta Solo mengimbau gereja penyelenggara ibadah Natal dan Tahun Baru 2025 memasang kamera pengawas baik di dalam atau luar gereja. Kemudian kamera pengawas tersebut dihubungkan dengan Smart City Comand Center. "Untuk memaksimalkan pengamanan, diharapkan agar CCTV yang ada digereja bisa dihubungkan dengan Smart City Comand Center sehingga pihak Kepolisian bisa secara langsung memantau dan memonitor keamanan dan kelancaran lalu lintas," ujar Kapolresta Solo, Kombes Iwan Saktiadi, di Solo, Kamis, 12 Desember 2024. Ia menekankan, pengamanan dan penjagaan tersebut dilakukan supaya masyarakat yang merayakan natal dan tahun baru dapat nyaman dan aman. Hal itu telah disosialisasikan ke seluruh pengurus gereja.

Dalam pengamanan Nataru, Polresta Solo bekerjasama dengan TNI, Satpol PP, Dishub serta pengamanan swakarsa dari masyarakat. Ia menambahkan, sebanyak 899 personil gabungan dari seluruh instansi dan swakarsa di Kota Solo akan diterjunkan untuk pengamanan Nataru.

"Kami juga menyediakan pos pengamanan yang dekat dengan gereja yang berjaga selama 24 Jam di gereja. Petugas juga akan melaksanakan sambang patroli manakala gereja tersebut akan mengadakan misa," bebernya.

Sementara itu, pengamanan gereja akan dibedakan menjadi tiga prioritas. Yakni gereja prioritas 1, prioritas 2 dan prioritas 3. "Gereja prioritas 1 yakni gereja dengan jumlah jemaat lebih dari seribu dan mengadakan dua kali ibadah natal. Kemudian gereja prioritas dua dengan jumlah jemaat 500 orang atau lebih. Serta gereja prioritas tiga dengan jumlah jemaat kurang dari 500 orang," ungkapnya.

Suara.com - Pengurus Gereja Katedral Jakarta telah menyiapkan beberapa tempat parkir kendaraan di area sekitar gereja untuk jemaat yang akan mengikuti Misa Natal 2022 secara langsung, luring atau luar jaringan, atau offline.

"Kami sudah menyiapkan sejumlah kantong-kantong parkir di sekitar kompleks Gereja Katedral dengan berkoordinasi dengan sejumlah pihak," jelas Romo Hani Rudi Hartoko, Pastor Kepala Katedral di Jakarta, Jumat (23/12/2022).

Dikutip dari kantor berita Antara, pengurus katedral telah berkoordinasi dengan Kepolisian Sektor Sawah Besar perihal pelaksanaan dan pengamanan perayaan Natal 2022, termasuk penyediaan tempat parkir kendaraan jemaat.

Tempat parkir kendaraan yang disiapkan bagi jemaat Misa Natal di Gereja Katedral Jakarta meliputi lapangan sekolah Santa Ursula, ruang bawah tanah Masjid Istiqlal, Kantor PT Pos, hingga area Pembekalan Angkutan (Bekang) TNI Angkatan Darat.

Baca Juga: Panda Mini EV, Mobil Listrik Geely Paling Mungil Bakal Mengisi Pasar Otomotif China Tahun Depan

"Dari Istiqlal, beberapa waktu lalu Bapak Imam Besar (Nasaruddin Umar) menyatakan siap membantu memfasilitasi perparkiran. Di basement (Istiqlal) terdapat 700 slot mobil. Jadi sebuah ungkapan persaudaraan yang kita jalin," ungkap Romo Hani.

Romo Hani Rudi Hartoko mengimbau anggota jemaat gereja menggunakan mobil secara bersama-sama mengingat tempat parkir kendaraan yang tersedia terbatas.

"Kalau sekeluarga sebaiknya bersama-sama karena parkirnya terbatas. Silakan datang bersama-sama, tidak satu mobil satu orang, itu akan sulit dalam lalu lintas," tukasnya.

Untuk ketersediaan tempat bagi umat, Katedral Jakarta menyiapkan 2.180 kursi dalam Misa Natal 2022.

Meski jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya, jumlah kursi yang disiapkan untuk jemaat Misa Natal 2022 di Gereja Katedral Jakarta baru sekitar separuh atau mencapai 50 persen dari yang biasa disiapkan sebelum pandemi COVID-19.

Baca Juga: Dorong Produsen Otomotif Pembuat Mobil Listrik Segera Investasi di Tanah Air, Pemerintah Indonesia Berikan Insentif

Pada 2021, saat pembatasan untuk mengendalikan penularan COVID-19 masih diterapkan secara ketat, pengurus Gereja Katedral Jakarta membatasi jemaat peserta Misa Natal sebanyak 650 orang.

Menurut Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2022, jemaat yang mengikuti kegiatan ibadah pada Perayaan Natal Tahun 2022 secara luring atau langsung, maksimal 100 persen dari kapasitas ruangan yang disediakan.

Pemerintah juga memperbolehkan pengurus gereja menambah tenda di luar area gedung utama untuk keperluan perayaan Natal setelah berkoordinasi dengan kepolisian dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19.

Menurut ketentuan pemerintah, protokol kesehatan tetap harus dijalankan dalam kegiatan ibadah dan perayaan Natal 2022.

Selamat merayakan Hari Natal 2022 bagi saudara dan saudari yang merayakannya, damai di bumi dan damai di hati.

Katolik dan Kristen Protestan keduanya merupakan agama yang sama-sama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Yesus Kristus tetapi memiliki prinsip iman yang berbeda. Pada awalnya, Katolik dan Protestan adalah satu agama, yaitu agama Katolik, tapi kok bisa ya sekarang terpecah menjadi dua kepercayaan? Nah, kita akan membahas secara lengkap dan singkat mengenai sejarah terpisahnya Katolik dengan Protestan dalam artikel ini.

Pernah mendengar nama Martin Luther?

Sobat cengkir pernah mendengar dan mengetahui Martin Luther? Martin Luther merupakan sosok dibalik perintis Reformasi Protestan. Reformasi terjadi dikarenakan adanya protes dari Martin Luther, ia perbuatan menyimpang dari para atasan Gereja Katolik. Martin Luther menganggap bahwa peraturan Gereja Katolik sudah tidak berjalan dengan semestinya dari Alkitab dan telah terjadi penyimpangan dari ajaran Tuhan. Oleh karena itu ada beberapa hal yang diprotes oleh Martin Luther di antaranya:

Apa saja yang diprotes?

Pada saat itu, para petinggi Gereja Katolik banyak yang melakukan penyogokan untuk mendapatkan kekuasaan dan kedudukan sosial yang tinggi.

Perilaku amoral dari Paus

dalam kedudukan atau Hierarki Gereja Katolik, seorang Paus merupakan sosok yang sangat dihormati dan menjadi teladan bagi umat-NYA. Paus merupakan pimpinan tertinggi dalam struktur organisasi  Gereja. Dalam ajaran Katolik, seorang Paus tidak boleh memiliki hubungan dengan lawan jenis, menikah, apalagi melakukan perzinahan, karena bertujuan untuk fokus melayani Tuhan saja. Maka ada istilah yang dikenal sebagai hidup selibat. Tapi, pada saat itu ternyata terdapat Paus Alexander VI yang mempunyai hubungan terlarang dengan seorang wanita dan menghasilkan 8 anak dari hubungan di luar nikah tersebut. Hal ini tentu perbuatan menyimpang.

Sakramen adalah ritual suci yang sakral dan harus dilakukan dengan benar, sakramen merupakan bagian sentral dari ajaran dan doktrin umat Katolik. Sakramen merupakan tanda kehadiran Allah dalam hidup manusia. Pada zaman Martin Luther,  sering disalahgunakan dan disembah secara berlebihan. Terlebih terhadap benda-benda keramat yang menimbulkan kepercayaan yang tidak masuk akal. Padahal menurut keyakinan Kristen, alat-alat sakramen hanyalah perantara untuk kita lebih dekat kepada Tuhan dan bukan menjadi sumber keselamatan. Kepercayaan yang berlebihan terhadap suatu benda sudah melanggar perintah Allah yaitu tidak boleh menyembah berhala.

Pada zaman itu, Paus Leo X memperjualbelikan surat pengampunan dosa di negara Jerman dengan maksud mencari dana tambahan untuk membangun Gereja Katolik termegah. Pada saat itu Jerman merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah petani dan mempercayai benda-benda keramat, serta agama Katolik memiliki pengaruh yang sangat besar.

Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, dimana dalam mendapat pengampunan dosa itu hanya bisa didapatkan dan diberikan oleh Allah saja, tidak ada hal lain yang dapat merubahnya. Penjualan surat pengampunan dosa ini dianggap sebagai tindakan korupsi.

Perpecahan Gereja Katolik dan Gereja Kristen

Alasan-alasan diatas memicu aksi Martin Luther yaitu menerbitkan serta menempelkan 95 tesis di depan Gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517, yang didalamnya menguraikan berbagai praktik penyalahgunaan Gereja. Hal ini dianggap sebagai awal mula penyebab perpecahan Gereja Katolik dan Reformasi pendirian Gereja Injili. Kemudian pada tahun 1520, Martin Luther meminta Kaisar Roma untuk segera mereformasi Gereja dan berhenti tunduk pada kekuasaan Paus.

Untuk meredam kemarahan dari Paus Leo X, Kaisar Charles X meminta Martin Luther untuk meminta maaf, tetapi menerima penolakan dan tetap bersikukuh bahwa apa yang ia katakan itu benar. Hal ini membawa Martin Luther pada pelariannya dan bersembunyi di Kastil Wartburg. Disana ia menerjemahkan Injil ke bahasa Jerman. Dengan perkembangan mesin ketik, mulai lah menyebar ajaran dari Martin Luther dan banyak orang yang setuju dan mendukung pemikiran Martin Luther.

Orang-orang yang mendukung pemikiran Martin Luther ini akhirnya menjadi pengikut yang dinamakan Protestan. Sehingga Katolik dan Kristen Protestan menjadi dua agama yang berbeda. Sehingga wajar jika keduanya memiliki banyak kesamaan, karena Kristen Protestan berasal dari satu agama yaitu Katolik. Tetapi perlu diingat Katolik dan Kristen Protestan tetap memiliki pendiriannya masing-masing dan tidak dapat disatukan. Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan sakramen satu sama lain.

Sebagai umat Kristiani yang diajarkan untuk selalu menjaga perdamaian dan cinta kasih terhadap sesama, perpecahan dari kedua agama ini tidak boleh dijadikan sebagai ajang untuk menjelek-jelekan satu sama lain, melainkan menjadikan kita sebagai umat-NYA untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan para petinggi-petinggi Gereja, dan tidak mengulanginya lagi di zaman sekarang. Mari sama-sama membangun dan memperkuat iman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lalu sama-sama mengamalkan Firman Tuhan ke dalam kehidupan Sobat Cengkir sekalian.

Romo Yanto, O.Carm, tinggal di Filipina

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com

Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur telah berada dalam perpecahan resmi satu sama lain sejak Skisma Timur-Barat tahun 1054. Perpecahan ini disebabkan oleh perbedaan sejarah dan bahasa, serta perbedaan teologis antara gereja-gereja Barat dan Timur.

Perbedaan teologis yang utama dengan Gereja Katolik adalah keutamaan kepausan[3] dan klausa filioque. Dalam spiritualitas, keberlangsungan perbedaan esensi-energi neo-Palamisme dan visi pengalaman Tuhan sebagaimana dicapai dalam theoria dan theosis masih diperdebatkan secara aktif.

Meskipun abad ke-21 menyaksikan pertumbuhan sentimen anti-Barat dengan munculnya neo-Palamisme, "masa depan pemulihan hubungan Timur-Barat tampaknya mengatasi polemik modern neo-skolastisisme dan neo-Palamisme".[4] Sejak Konsili Vatikan Kedua, Gereja Katolik secara umum mengambil pendekatan bahwa perpecahan pada dasarnya bersifat eklesiologis, bahwa ajaran doktrinal gereja-gereja Ortodoks Timur secara umum masuk akal, dan bahwa "visi persekutuan penuh harus diwujudkan." yang dicari adalah kesatuan dalam keberagaman yang sah"[5] seperti sebelum perpecahan.[6]

Kedua gereja menerima keputusan tujuh Konsili Ekumenis pertama dari Gereja yang tidak terbagi. Ini adalah:

Oleh karena itu ada kesepakatan doktrinal tentang:

Kedua gereja tersebut menolak banyak doktrin Protestan, beberapa contoh penting di antaranya adalah ajaran keselamatan melalui iman saja dan sola scriptura.

Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur telah berada dalam perpecahan resmi satu sama lain sejak Skisma Timur-Barat tahun 1054. Perpecahan ini disebabkan oleh perbedaan sejarah dan bahasa, serta perbedaan teologis antara gereja-gereja Barat dan Timur.

Kekaisaran Bizantium menarik diri secara permanen dari Kota Roma pada tahun 751, sehingga mengakhiri Kepausan Bizantium. Keterasingan timbal balik antara masyarakat Timur yang berbahasa Yunani dan masyarakat Barat yang berbahasa Latin menyebabkan meningkatnya ketidaktahuan mengenai perkembangan teologis dan eklesiologis dari masing-masing tradisi.

Gereja Timur dan Gereja Barat masing-masing menggunakan bahasa Yunani dan Latin sebagai media komunikasi mereka. Terjemahan tidak selalu sama persis. Hal ini juga menyebabkan kesalahpahaman.

Keutamaan kepausan, juga dikenal sebagai "keutamaan Uskup Roma", adalah sebuah doktrin gerejawi mengenai rasa hormat dan wewenang yang menjadi hak Paus dari para uskup lain dan tahta keuskupan mereka .

Dalam Gereja-Gereja Ortodoks Timur, beberapa orang memahami bahwa keutamaan Uskup Roma hanyalah salah satu kehormatan yang lebih besar, menganggapnya sebagai primus inter pares ("yang pertama di antara yang sederajat"), tanpa kekuasaan yang efektif atas gereja-gereja lain. Namun, para teolog Kristen Ortodoks lainnya memandang keutamaan sebagai kekuasaan otoritatif: ekspresi, manifestasi, dan realisasi dalam diri seorang uskup atas kekuasaan semua uskup dan kesatuan Gereja.

Gereja Katolik menganggap keutamaan Paus adalah “kekuasaan penuh, tertinggi, dan universal atas seluruh Gereja, suatu kekuasaan yang selalu dapat dijalankannya tanpa halangan,”[9] dengan kekuasaan yang juga diatribusikan kepada seluruh badan para uskup. bersatu dengan Paus.[10] Kekuasaan yang dikaitkan dengan otoritas utama Paus mempunyai keterbatasan yang bersifat resmi, legal, dogmatis, dan praktis.

Dalam Dokumen Ravenna yang dikeluarkan pada tahun 2007, perwakilan Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik bersama-sama menyatakan bahwa baik Timur maupun Barat menerima fakta keutamaan Uskup Roma pada tingkat universal, namun terdapat perbedaan pemahaman tentang bagaimana keutamaan tersebut. harus dilaksanakan dan tentang landasan kitab suci dan teologisnya.

Perbedaan mengenai doktrin ini dan pertanyaan tentang keutamaan kepausan telah dan masih menjadi penyebab utama perpecahan antara gereja-gereja Ortodoks Timur dan gereja-gereja Barat. Istilah ini terus menjadi sumber konflik antara Kekristenan Timur dan Kekristenan Barat, yang sebagian besar berkontribusi terhadap Skisma Timur-Barat tahun 1054 dan terbukti menjadi hambatan dalam upaya menyatukan kembali kedua belah pihak.[13][14][15]

Filioque (harafiah "dan [dari] Putra"[16][diskusikan] adalah sebuah istilah Latin yang ditambahkan pada Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopolitan (umumnya dikenal sebagai Pengakuan Iman Nicea ), yang tidak ada dalam versi Yunani aslinya. Istilah Latin Filioque diterjemahkan ke dalam klausa bahasa Inggris "dan Putra" dalam kredo itu:

Filioque diterjemahkan ke dalam klausa bahasa Inggris "dan Putra" dalam kredo itu:

Filioque tidak termasuk dalam bentuk Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel yang digunakan di sebagian besar gereja Kristen Barat, pertama kali muncul pada abad ke-6.[17][kontradiktif] Hal ini baru diterima oleh Paus pada tahun 1014 dan ditolak oleh Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Timur.

Apakah istilah Filioque dimasukkan, serta bagaimana istilah tersebut diterjemahkan dan dipahami, dapat memiliki implikasi penting terhadap cara seseorang memahami doktrin utama Kristen tentang Tritunggal Mahakudus. Bagi sebagian orang, istilah ini menyiratkan anggapan yang terlalu meremehkan peran Bapa dalam Tritunggal; bagi yang lain, penyangkalan terhadap apa yang diungkapkannya menyiratkan meremehkan peran Putra dalam Trinitas. Seiring berjalannya waktu, istilah tersebut menjadi simbol konflik antara Kekristenan Timur dan Kekristenan Barat, meskipun terdapat upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut. Di antara upaya-upaya awal harmonisasi adalah karya-karya Maximus sang Pengaku Iman, yang secara khusus dikanonisasi secara independen oleh gereja-gereja Timur dan Barat.

Pada tahun 1995, Dewan Kepausan untuk Mempromosikan Persatuan Umat Kristiani (PCPU) menyatakan bahwa teka-teki Filioque mungkin merupakan masalah bahasa, bukan masalah teologi.[18] Kata ἐκπορεύεσθαι dalam bahasa Yunani menunjukkan penyebab utama atau penyebab utama; sedangkan kata Latin prosedure menunjukkan suatu prosesi tetapi bukan dari suatu tujuan akhir. Versi Latinnya mungkin lebih akurat diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Yunani sebagai προϊέναι, daripada ἐκπορεύεσθαι. Metropolitan John Zizioulas menyatakan bahwa posisi PCPCU menunjukkan tanda-tanda positif rekonsiliasi masalah Filioque antara gereja Timur dan Barat.[19]

Abad ke-20 menyaksikan kebangkitan neo-Palamisme, cq "Gerakan Neo-Ortodoks", di Gereja Ortodoks Timur. Menurut sudut pandang ini, yang muncul untuk membela perbedaan Palamite antara esensi dan energia, teologi barat didominasi oleh filsafat rasional, sedangkan teologi Ortodoks didasarkan pada visi pengalaman tentang Tuhan dan kebenaran tertinggi. Menurut neo-Palamisme, ini adalah pembagian utama antara Timur dan Barat.

Neo-Palamisme berakar pada kontroversi Hesychast atau kontroversi Palamite (abad ke-14),[20][21] di mana Gregory Palamas memberikan pembenaran teologis untuk praktik hesychasm Ortodoks yang telah berusia berabad-abad. Kontroversi hesychast mengarah pada pembedaan lebih lanjut antara Timur dan Barat, sehingga memberikan tempat yang menonjol pada praktik kontemplatif dan teologi di Gereja Ortodoks Timur. Penerbitan Philokalia pada tahun 1782, yang mengarah pada kebangkitan hesychasm, diterima secara khusus oleh gereja-gereja Ortodoks Slavia. Bersama dengan pentingnya hal ini pada abad ke-20 oleh aliran teologi Ortodoks Paris, hal ini "menyebabkan hesychasm menjadi definitif bagi teologi Ortodoks modern yang belum pernah ada sebelumnya,"[22][23] dengan perbedaan Palamite Essence–energinya.

Menurut para teolog Ortodoks Timur modern ini, teologi barat terlalu bergantung pada teologi kataphatic. Menurut Steenberg, para teolog Timur menegaskan bahwa agama Kristen pada hakikatnya adalah kebenaran apodiktik, berbeda dengan dialektika, dianoia, atau pengetahuan yang dirasionalisasi yang merupakan kebenaran yang dicapai melalui spekulasi filosofis.[25]

Meskipun Thomas Aquinas berpendapat bahwa teologi kataphatic dan apophatic perlu menyeimbangkan satu sama lain, Vladimir Lossky berpendapat, berdasarkan bacaannya tentang Dionysius the Areopagite dan Maximus the Confessor, bahwa teologi positif selalu lebih rendah daripada teologi negatif. Menurut mistisisme Lossky, cq gnosiologi, adalah ekspresi teologi dogmatis yang unggul,[27] sedangkan teologi positif adalah langkah menuju pengetahuan unggul yang dicapai melalui negasi. Menurut Lossky, perbedaan antara Timur dan Barat disebabkan oleh penggunaan filsafat metafisika pagan oleh Gereja Katolik, dan perkembangannya, skolastisisme, bukan pengalaman mistis dan aktual tentang Tuhan yang disebut theoria, untuk memvalidasi dogma-dogma teologis Katolik. Kekristenan. Lossky berpendapat bahwa oleh karena itu Ortodoks Timur dan Katolik telah menjadi "orang yang berbeda",[28] dengan menyatakan bahwa "Wahyu membuat jurang pemisah antara kebenaran yang dinyatakannya dan kebenaran yang dapat ditemukan melalui spekulasi filosofis."[29]

Lossky memiliki pengaruh yang kuat pada teologi Ortodoks Timur abad ke-20, dan memengaruhi John Romanides, yang juga seorang teolog berpengaruh. Romanides melihat adanya dikotomi yang kuat antara pandangan Ortodoks Timur dan Barat, dengan alasan bahwa pengaruh kaum Frank, dan penerimaan Barat terhadap teologi Agustinus, adalah titik awal dari teologi rasional Barat, dan dikotomi antara Timur dan Barat.[30]

Sentimen yang sama juga diungkapkan oleh gerakan Slavofil awal (abad ke-19) dalam karya Ivan Kireevsky dan Aleksey Khomyakov . Kaum Slavofil mencari rekonsiliasi dengan berbagai bentuk agama Kristen, seperti yang dapat dilihat dalam karya-karya pendukungnya yang paling terkenal, Vladimir Solovyov.

Hesychasm, "menjaga ketenangan", adalah tradisi mistik doa kontemplatif dalam Gereja Ortodoks Timur, yang sudah ada pada abad keempat Masehi pada masa para Bapak Gurun. Tujuannya adalah teosis, pendewaan yang diperoleh melalui praktik doa kontemplatif,[31][32][33][34][35] tahap pertama dari theoria, yang mengarah pada "visi Tuhan".[25][36][37] Terdiri dari tiga tahap, yaitu katarsis, theoria, dan penyelesaian pendewaan, cq theosis.[32]

Pengetahuan tentang Tuhan dicapai melalui theoria , "visi tentang Tuhan".[38][39][40][32] Ini juga disebut sebagai mengalami cahaya Tuhan yang tidak diciptakan[36], cahaya Tabor Transfigurasi Kristus[41][42] seperti yang terlihat oleh rasul di Gunung Tabor.

Kontroversi Hesychast adalah perselisihan teologis di Kekaisaran Bizantium pada abad ke-14 antara pendukung dan penentang Gregory Palamas. Gregory Palamas dari Thessaloniki (1296-1359) memberikan pembenaran teologis atas praktik hesychasm. Palamas menyatakan ada perbedaan antara hakikat (ousia) dan tenaga (energeia) Tuhan. Meskipun Tuhan pada hakikatnya tidak dapat diketahui dan ditentukan, visi Tuhan dapat dicapai ketika energinya dilihat dengan mata sebagai Cahaya yang Tidak Diciptakan. Palamas merumuskan gagasannya tentang perbedaan ini sebagai bagian dari pembelaannya terhadap praktik hesychasmos biara Athonite terhadap tuduhan bid'ah yang diajukan oleh sarjana humanis dan teolog Barlaam dari Calabria.[43][44]

Para teolog Ortodoks Timur umumnya menganggap perbedaan ini sebagai perbedaan yang nyata, dan bukan sekedar perbedaan konseptual.[45] Secara historis, pemikiran Kristen Barat cenderung menolak pembedaan esensi-energi sebagai sesuatu yang nyata dalam kasus Tuhan, dan mencirikan pandangan tersebut sebagai pengenalan sesat mengenai pembagian yang tidak dapat diterima dalam Trinitas dan sugestif terhadap politeisme.[46][47]

Pada akhir abad ke-20 terjadi perubahan sikap para teolog Katolik terhadap Palamas.[48] Meskipun beberapa teolog Barat melihat teologi Palamas memperkenalkan perpecahan yang tidak dapat diterima dalam diri Tuhan, yang lain telah memasukkan teologinya ke dalam pemikiran mereka sendiri,[49] mempertahankan bahwa tidak ada konflik antara ajarannya dan pemikiran Katolik.[50]

Sergey S. Horujy menyatakan bahwa "studi hesychast mungkin memberikan pandangan baru terhadap beberapa perpecahan antar-pengakuan lama, mengungkap titik-titik kemiripan yang tak terduga",[51] dan Jeffrey D. Finch mengatakan bahwa "masa depan pemulihan hubungan Timur-Barat tampaknya mengatasi pendekatan modern polemik neo-skolastik dan neo-Palamisme".[52]

Paus Yohanes Paulus II berulang kali menekankan rasa hormatnya terhadap teologi Timur sebagai pengayaan bagi seluruh Gereja. Meskipun dari sudut pandang Katolik terdapat ketegangan mengenai beberapa perkembangan praktik hesychasm, kata Paus, tidak dapat disangkal kebaikan niat yang mengilhami pembelaannya.[53][54]

Jeffrey D. Finch mengklaim bahwa "masa depan pemulihan hubungan Timur-Barat tampaknya mengatasi polemik modern neo-skolastisisme dan neo-Palamisme".

Gereja Katolik menganggap bahwa perbedaan antara teologi Timur dan Barat lebih bersifat saling melengkapi dan bukan bertentangan, sebagaimana tercantum dalam dekrit Unitatis redintegratio Konsili Vatikan Kedua, yang menyatakan:

Dalam mempelajari wahyu, Timur dan Barat mengikuti metode yang berbeda, dan mengembangkan pemahaman serta pengakuan mereka akan kebenaran Tuhan secara berbeda. Maka tidak mengherankan jika dari waktu ke waktu salah satu tradisi semakin mengapresiasi secara penuh beberapa aspek misteri wahyu dibandingkan tradisi lainnya, atau mengungkapkannya dengan lebih baik. Dalam kasus seperti ini, berbagai ekspresi teologis ini sering kali dianggap saling melengkapi dan bukannya bertentangan. Dalam kaitannya dengan tradisi teologis Gereja Timur yang autentik, kita harus mengakui betapa mengagumkan akar tradisi teologis tersebut dalam Kitab Suci, dan bagaimana tradisi tersebut dipupuk dan diungkapkan dalam kehidupan liturgi. Kekuatan mereka juga diperoleh dari tradisi hidup para rasul dan dari karya para Bapa Gereja dan penulis spiritual Gereja-Gereja Timur. Dengan demikian, ajaran-ajaran tersebut memajukan tatanan kehidupan Kristiani yang benar dan, tentu saja, membuka jalan menuju visi kebenaran Kristiani yang utuh.[55]

Sikap Gereja Katolik juga diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam gambaran Gereja "bernafas dengan kedua paru-parunya".[56][57] Maksudnya adalah harus ada kombinasi antara temperamen “Latin” yang lebih rasional, yuridis, dan berwawasan organisasi dengan semangat intuitif, mistis, dan kontemplatif yang terdapat di Timur.[58]

Katekismus Gereja Katolik, yang mengutip dokumen Konsili Vatikan Kedua dan Paus Paulus VI, menyatakan:

“Gereja mengetahui bahwa dalam banyak hal ia tergabung dengan orang-orang yang dibaptis yang dihormati dengan nama Kristiani, tetapi tidak menganut iman Katolik secara keseluruhan atau tidak memelihara kesatuan atau persekutuan di bawah penerus Petrus” (Lumen gentium 15). Mereka “yang percaya kepada Kristus dan telah dibaptis dengan benar, ditempatkan dalam persekutuan tertentu, meskipun tidak sempurna, dengan Gereja Katolik” (Unitatis redintegratio 3). Dalam Gereja Ortodoks, persekutuan ini begitu mendalam "sehingga hanya sedikit yang bisa dicapai untuk mencapai kepenuhan yang memungkinkan perayaan Ekaristi Tuhan bersama" (Paulus VI, Discourse, 14 Desember 1975; lih. Unitatis redintegratio 13-18).[59]

Pada tanggal 10 Juli 2007, Kongregasi Ajaran Iman menerbitkan sebuah dokumen,[60] yang disetujui oleh Paus Benediktus XVI, yang menyatakan bahwa gereja-gereja Timur dipisahkan dari Roma (gereja-gereja anggota Gereja Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Gereja Asiria Gereja Timur) dan oleh karena itu “ada kekurangan dalam kondisi mereka sebagai Gereja partikular”, dan bahwa perpecahan ini juga berarti bahwa “kepenuhan universalitas, yang merupakan ciri Gereja yang diperintah oleh Penerus Petrus dan para Uskup di persekutuan dengannya, tidak sepenuhnya terwujud dalam sejarah."[61]

Pada tanggal 3 Juli 2019, terungkap bahwa selama pertemuan Vatikan dengan Uskup Agung Ortodoks Ayub Telmessos, yang mewakili Patriark Ekumenis Gereja Ortodoks Bartholomew dari Konstantinopel, pada hari raya St. Petrus dan Paulus pada tanggal 29 Juni 2019, Paus Fransiskus menyatakan bahwa persatuan daripada menyamakan perbedaan harus menjadi tujuan antara Gereja Katolik dan Ortodoks.[62] Paus Fransiskus juga memberi Bartholomew sembilan potongan tulang yang diyakini milik Santo Petrus dan dipamerkan pada Misa publik yang diadakan di Vatikan pada November 2013 untuk merayakan "Tahun Iman".[63][62] Meskipun mengadakan pertemuan "ramah" dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang memiliki sejarah hubungan baik dengan Paus,[64] pada tanggal 4 Juli 2019 ketegangan antara Vatikan dan gereja Ortodoks Rusia masih tetap ada, dengan Paus Fransiskus menyatakan bahwa kecil kemungkinannya dia akan mengunjungi Rusia kecuali Putin setuju untuk tidak menyertakan Gereja Ortodoks Rusia dalam kunjungan tersebut.[65] Putin juga menyatakan kepada Paus bahwa dia tidak akan mengundang Paus ke Rusia tanpa syarat ini.[66] Paus Fransiskus juga mengisyaratkan bahwa ia bersedia mendukung keprihatinan Gereja Katolik Yunani Ukraina, yang telah menyatakan penolakannya terhadap intervensi Putin di Ukraina dan hubungan Vatikan dengan Putin saat ini.[67]

Pada awal pertemuan dua hari Vatikan dengan para pemimpin Katolik Yunani Ukraina pada tanggal 5 Juli 2019, Paus Fransiskus mengisyaratkan bahwa dia mendukung keprihatinan Gereja di Ukraina dan menyerukan bantuan kemanusiaan yang lebih besar ke Ukraina. Paus sebelumnya juga menyatakan kekecewaannya atas peran Gereja Ortodoks Rusia dalam konflik di Ukraina pada awal tahun 2019.[68] Dalam pertemuan tanggal 5 Juli 2019, Paus Fransiskus juga menuduh Gereja Ortodoks Rusia juga berupaya memanipulasi "agama lain" di Ukraina.[69]